Minggu, 15 Maret 2015

makalah baduy by olda goza nugratama (bab 1)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................... 1 DAFTAR ISI ........................................................................................2 BAB 1 PENDAHULUAN 1. Lokasi baduy 2. Topografi baduy 3. Jumlah penduduk baduy 4. Arti khusus baduy 5. Asal usul masyarakat baduy 6. Suku bangsa baduy 7. Pembagian kelompok masyarakat baduy 8. Ciri-ciri orang baduy dalam dan luar 9. Ragam bahasa orang baduy 10. Agama ,kepercayaan ,religi masyarakat baduy 11. Konsep hidup masyarakat baduy 12. Teknologi orang baduy 13. Sistem pengetahuan yang mereka miliki 14. Kesenian orang baduy KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang maha kuasa, atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KEBUDAYAAN SUKU BADUY”, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Produktif. Makalah disusun berdasarkan hasil observasi yang diharapkan berguna untuk mengembangkan kreatif, daya pikir dan untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan. Segala petunjuk, arahan dan bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima dalam menyusun maklah ini sangatlah besar artinya. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun Olda goza nugratama Lokasi baduy Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak,Banten. Topografi baduy Jumlah penduduk baduy Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Arti khusus baduy Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). Asal-usul orang baduy Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa. Suku bangsa baduy Masyarakat suku Baduy sendiri suka menyebut dirinya urang Kanekes. Namun para peneliti dan sebagian besar masyarakat Indonesia menamakan suku ini Baduy karena daerahnya yang diapit dengan oleh dua gunung Baduy atau bisa juga diadaptasi dari nama masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu memiliki gaya hidup mirip dengan orang Kanekes. Sistem pemerintahan,politik, ekonomi dan semua sistem lain dalam desa Kanekes menggunakan sistem kehidupan tradisional. Maka sistem dusun pun diterapkan atas tiga wilayah utama, yakni Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Sistem budaya tradisional di masyarakat Kanekes ini sama halnya dengan budaya tradisional lain yakni menggunakan sistem lisan untuk memberitakan suatu hal berupa informasi, cerita, hiburan atau pendidikan. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Sunda dengan dialek khusus masyarakat Kanekes. Salah satu ciri khas bahasa Sunda dialek Kanekes adalah menggunakan kata kami untuk menyebut saya dan kata ganti dia untuk menyebut kamu atau anda. Pembagian dalam masyarakat Baduy Masyarakat suku Baduy dibagi menjadi tiga kelompok yang tinggal di daerah yang berbeda-beda. Kelompok tersebut adalah: • Baduy Dalam (Kanekes Dalam) • Baduy Luar (Kanekes Luar) • Baduy Dangka Masyarakat Baduy Dalam adalah masyarakat yang menempati tiga wilayah utama Kanekes, yakni Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Masyarakat ini sangat memegang teguh adat istiadatnya dengan pakaian berwarna putih dan biru tua. Mereka juga suka mengenakan ikat kepala berwarna putih. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan benda-benda yang berbau modern, seperti alat elektroni dan bahan kimia. Pakaian yang digunakan pun harus ditenun sendiri berasal dari bahan-bahan yang alami di sekitar masyarakat tersebut tinggal. Jika ada pakaian yang dijahit, bisa dipastikan mereka menjahitnya sendiri dengan tangan. Kelompok yang kedua adalah masyarakat suku Baduy luar yang berciri khas pakaian hitam. Mereka juga menggunakan ikat kepala seperti masyarakat Baduy dalam, namun berwarna hitam juga. Masyarakat ini tinggal di desa yang mengelilingi desa utama wilayah Kanekes diatas.Masyarakat Baduy luar ini bisa dikatakan adalah suku Baduy yang diasingkan karena beberapa alasan seperti melanggar peraturan adat yang ada dalam wilayah Kanekes dalam, menikah dengan orang luar Kanekes Dalam atau mengundurkan diri dari Baduy Dalam dengan berbagai macam alasan. Salah satu sebab yang paling banyak adalah penggunaan alat-alat moden seperti elektronik, bahan kimia dan teknologi lain. Namun dalam beberapa hal, masyarakat Baduy Luar masih menerima dan mengakui sebagian adat masyarakat Baduy. Inilah yang membedakan kelompok Baduy luar dengan Baduy Dangka. Kelompok ketiga, yakni Baduy Dangka, mereka yang sudah benar-benar keluar dari suku Baduy, baik secara geografis maupun secara adat istiadat. Mereka merupakan keturunan suku Baduy Dalam atau luar, namun umumnya sudah tidak tinggal di wilayah Kanekes. Ciri-ciri orang baduy dalam dan luar Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing. Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain: • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat) • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi) • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar: • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam. • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam • Menikah dengan anggota Kanekes Luar Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik. • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam. • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik. • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam. • Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan. Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001). Bahasa Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis. Kepercayaan Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung) Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambuyang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a). Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam. Konsep hidup masyarakat baduy Sebagai suatu bentuk persekutuan hidup, orang-orang Kanekes dalam yang tinggal bersama di daerah sebelah dalam desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak provinsi Banten sebelah selatan merupakan rumpun dari kebudayaan Sunda; dalam terminologi antropologi untuk persekutuan hidup seperti orang-orang Baduy itu sebenarnya lebih tepat disebut komunitas daripada masyarakat (Koentjaraningrat, 1990: 61); hanya untuk lebih memudahkan pemahaman maka istilah yang akan dipakai untuk menamakan persekutuan hidup tersebut dalam tulisan ini adalah – ‘orang Kanekes’. Hal tentang penamaan persekutuan hidup, Baduy, sebenarnya hanya berlaku pada fihak diluar persekutuan itu, masyarakat suku Baduy itu sendiri sebenarnya tidak suka menamakannya demikian, tetapi lebih menyatakan diri sebagai orang ‘Kanekes’. Istilah Baduy menurut mereka adalah berkonotasi kurang baik karena berkenaan dengan kelompok Badwi, satu kelompok pengembara padang pasir di tanah Arab yang dipandang rendah peradabannya (Ekajati, 1995: 54). Kemungkinan sebutan Baduy yang mempunyai konotasi ejekan berasal dari masyarakat sekitarnya yang telah memeluk agama Islam. kehidupan orang Kanekes yang ‘terisolir’ selama berabad-abad hingga sekarang, sikap hidup mereka selalu cenderung menolak masuknya kebudayaan luar dan mempertahankan cara hidup sesuai dengan yang diajarkan oleh leluhur mereka, dimana mereka masih banyak menyimpan unsur, pola, dan sistem masyarakat dan kebudayaan Sunda lama. Sebenarnya istilah terisolir (terasing) dalam kasus orang Kanekes adalah relatif karena hubungan dengan masyarakat luar ternyata berlangsung secara terbuka, baik intensitas kunjungan orang Kanekes keluar dari desanya maupun intensitas kunjungan studi bahkan wisata banyak orang ke desa Kanekes. Istilah keterasingan disini bisa diartikan sebagai pengasingan diri. Lokasi pemukiman yang terpencil, sikap hidup yang kukuh mempertahankan adat istiadat dari leluhur, sikap keras menolak pengaruh kebudayaan luar, serta cara hidup yang mandiri bila dibandingkan dengan beberapa bentuk masyarakat terasing lainnya yang ada di Indonesia, rupanya keadaan inilah yang menjadi ciri pembeda dan menonjol dari orang Kanekes. Berdasarkan pada tingkat adatnya, orang Kanekes dapat diklasifikasikan atas dua kelompok sosial, yaitu orang Kanekes Dalam (Baduy dalam) dan orang kanekes Luar (Baduy luar); orang Kanekes dalam tinggal di tiga kampung terpisah yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik, sedangkan orang Kanekes luar adalah orang Kanekes yang bermukim di banyak kampung di luar kampung Kanekes dalam. Keajegan orang Baduy dalam mempertahankan kepercayaan, tradisi, serta kecenderungan untuk menolak perubahan baik yang berasal dari dalam dan luar masyarakat ternyata terkait dengan berbagai sektor kehidupan; adalah cukup menarik melihat keterkaitan itu dengan konsep ruang yang ternyata merupakan fenomena penting dalam kepercayaan dan falsafah hidup orang kanekes menurut dimensi makro dan mikro kosmos yang terwujud dalam tiga alam yaitu Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yang letaknya di alam atas, Buana Panca Tengah, tempat berdiam manusia dan mahluk lainnya, yang letaknya di alam tengah, serta Buana larang, yaitu neraka, yang letaknya di alam bawah. Teknologi orang baduy Baduy dalam tidak mengenal teknologi seperti: hp,tv,alat elektronik lainnya bahkan suku baduy dalam juga tak mengenal perkakas seperti : gergaji ,paku dll.baduy luar sudah mengenal teknologi. Sistem pengetahuan orang baduy Kelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidak mengenal tulisan segala yang berhubungan dengan peraturan hokum, adat istiadat, kiasah-kiasah nene moyang dan kepercayaan mereka diturunkan dan diwariskan kepada anak cucu mereka. Kesenian orang baduy Angklung buhun adalah alat musik tradisional khas Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dinamakan buhun karena kesenian ini lahir bersamaan dengan hadirnya masyarakat Baduy. Buhun berarti tua, kuno (baheula ). Jadi, maksudnya angklung buhun adalah angklung tua yang menjadi kesenian pusaka masyarakat Baduy . Tidak ada catatan kapan angklung buhun pertama kali diciptakan. Namun konon, angklung buhun sudah ada sejak 18 abad yang lalu. Kesenian ini dianggap memiliki nilai magis (kekuaan gaib) dan sakral. Selain itu kesenian ini juga punya arti penting sebagai penyambung amanat untuk mempertahankan generasi masyarakat Baduy. Makna yang ada dalam kesenian ini adalah untuk meningkatkan persatuan, kebersamaan, dan ketahanan dalam setiap langkah menuju kesejahteraan. Saat ini kelompok pemain kesenian angklung buhun sangat jarang ditemui atau dipentaskan. Dalam adat Baduy, kesenian ini tidak bisa dipentaskan sembarangan. Biasanya kesenian ini sekarang hanya dijumpai pada acara-acara ritual, seperti acara adat Seren Taun di Cisungsang dan Seba di masyarakat Baduy, Kabupaten Lebak. Kesenian ini juga dimainkan pada Upacara Ngaseuk. Upacara ini bertujuan agar proses penanaman padi lancar dan hasil panennya dapat mencukupi kebutuhan masyarakat Baduy. Kesenian Angklung Buhun memiliki karakter kesenian yang sederhana baik dalam lirik atau lagunya.Kesenian pusaka masyarakat Baduy ini biasanya menggambarkan alam sekitar. Biasanya juga menciptakan suasana yang nyaman, damai, dan harmonis.

MAKALAH SUKU BADUY (BY OLDA GOZA N.T)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yesus kristus, atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KEBUDAYAAN SUKU BADUY”, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Produktif. Makalah disusun berdasarkan hasil observasi yang diharapkan berguna untuk mengembangkan kreatif, daya pikir dan untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan. Segala petunjuk, arahan dan bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima dalam menyusun maklah ini sangatlah besar artinya. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................... 1 DAFTAR ISI .................................................................................................. 2 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latara Belakang ............................................................................................. 3 1.2 Suku Baduy.................................................................................................... 3 1.3 Pembagian Kelompok.................................................................................... 3 1.3.1 Kelompok tangtu (baduy dalam)............................................................... 3 1.3.2 Kelompok Masyarakat panamping (baduy luar)....................................... 4 1.3.3 Kelompok Baduy Dangka ........................................................................ 4 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Mata Penceharian.................................................................................... 5 2.2 Hukum di dalam Masyarakat Baduy..................................................... 5 2.3 Segi Berpakaian...................................................................................... 7 2.4 Bahasa..................................................................................................... 8 2.5 Kepercayaan............................................................................................ 9 2.6 Tarian...................................................................................................... 10 2.7 Pernikahan.............................................................................................. 11 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan........................................................................................... 6 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. 1.2 Suku Baduy Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro. 1.3 Pembagian Kelompok Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. 1.3.1 Kelompok tangtu (baduy dalam). suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. 1.3.2 Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar), mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah. 1.3.3 Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.